GETPOST.ID, Jakarta- Kunjungan WHO–International Regulatory Cooperation for Herbal Medicines (IRCH) membawa angin segar untuk tanaman herbal di Indonesia terutama jahe merah. Jahe merah, sebagai tanaman lokal Indonesia, mendapat sorotan sebagai contoh produk herbal modern yang berbasis riset dan produksi skala besar.
WHO–IRCH tengah menyusun farmakope herbal internasional yang melibatkan berbagai negara, termasuk Indonesia. Tahun ini, Indonesia menjadi tuan rumah Pertemuan Tahunan WHO–IRCH ke-16, sekaligus memamerkan kemajuan riset dan industri herbalnya, salah satunya terkait jahe merah yang dikembangkan PT Bintang Toedjoe. “Kunjungan WHO–IRCH ke industri yang memanfaatkan jahe merah ini menjadi benchmark dan masukan penting untuk penyusunan farmakope internasional,” kata dr. Inggrid Tania, Ketua Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI)
Fanny Kurniati, Presiden Direktur PT Bintang Toedjoe, menegaskan komitmen perusahaannya terhadap standar nasional dan internasional. “Kami bangga jahe merah Indonesia diakui dunia. Dari kebun binaan sampai laboratorium berteknologi tinggi, semangat From Nature to Science selalu kami pegang untuk memastikan keamanan dan khasiat produk kami,” ujarnya.
Dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, Indonesia memiliki modal kuat untuk menjadi pusat pengembangan obat herbal modern. Salah satu bahan yang kini kembali mencuri perhatian adalah jahe merah, rimpang kecil berwarna merah tua dengan aroma tajam yang sejak lama dikenal dalam pengobatan tradisional.
“Ribuan tumbuhan sudah dimanfaatkan sejak zaman nenek moyang. Kita juga sudah punya farmakope herbal untuk standarisasi produk. Ini menunjukkan kita punya pengetahuan dan sistem yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” jelasnya dalam sebuah siniar di YouTube.
Penelitian modern membuktikan manfaatnya: kandungan gingerol, shogaol, dan zingerone membuat jahe merah bersifat antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, dan antidiabetes. Studi internasional juga menunjukkan potensinya untuk meredakan arthritis dan membantu mengontrol kadar gula darah.
Pentingnya Standarisasi dan Ekosistem Herbal Terpadu
Pertumbuhan industri herbal di Indonesia berjalan cepat, dari usaha kecil hingga industri besar. Namun, menurut dr. Inggrid, masih ada tantangan besar pada standarisasi. “Produk herbal harus memenuhi tiga aspek: autentisitas, kemurnian, dan mutu. Tanpa itu, produk sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” tegasnya.
Ia menambahkan, ekosistem yang terintegrasi dari hulu ke hilir menjadi kunci. Ekosistem yang dimaksud dimulai dari pembenihan dan budidaya tanaman obat, proses pascapanen, ekstraksi, hingga riset dan produksi. Sistem ini memastikan traceability bahan baku sekaligus menjaga keberlanjutan (sustainability) industri. “Mayoritas industri herbal di Indonesia belum memiliki ekosistem penuh. Ini yang perlu diperkuat agar daya saing global meningkat,” ujarnya.



