GETPOST.ID, Jakarta – Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 (“PP 28/2025”) sebagai pengganti PP Nomor 5 Tahun 2021 (“PP 5/2021”). Peraturan terbaru ini fokus pada penguatan sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dengan cara menyederhanakan birokrasi dan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, dengan cakupan yang meliputi 14 Bab dan 550 Pasal. Artikel ini akan mengkaji ketentuan-ketentuan utama dalam peraturan tersebut untuk membantu para pemangku kepentingan memahami penerapan praktis dan menyesuaikan strategi bisnis mereka sesuai dengan kerangka peraturan yang baru.
Pengembangan Sektor Perizinan Usaha
Berdasarkan ketentuan sebelumnya dalam PP 5/2021, terdapat 16 sektor usaha yang diatur dalam sistem perizinan, yaitu kelautan dan perikanan; pertanian; lingkungan hidup dan kehutanan; energi dan sumber daya mineral; ketenaganukliran; perindustrian; perdagangan; pekerjaan umum dan perumahan rakyat; transportasi; kesehatan, obat-obatan, dan makanan; pendidikan dan kebudayaan; pariwisata; keagamaan; pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik; pertahanan dan keamanan; dan ketenagakerjaan.
Melalui PP 28/2025, Pemerintah melakukan perluasan cakupan dengan menambahkan 6 (enam) sektor usaha baru, yaitu ekonomi kreatif; informasi geospasial; perdagangan dan metrologi legal; perkoperasian; penanaman modal; dan penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Usaha
PP 28/2025 mengatur bahwa pelaksanaan kegiatan usaha terbagi menjadi dua tahap utama: memulai usaha dan menjalankan usaha. Bagi pelaku usaha yang akan memulai bisnis, wajib memperoleh Perizinan Berusaha (“PB”) dan/atau Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha (“PB UMKU”) setelah memenuhi legalitas usaha dan persyaratan dasar.
Pemenuhan legalitas usaha oleh pelaku usaha berarti pendirian badan usaha yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun pemenuhan persyaratan dasar berarti pemeuhan beberapa persyaratan dasar yang yaitu Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (“KKPR”), Persetujuan Lingkungan (“PL”), Persetujuan Bangunan Gedung (“PBG”), dan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung (“SLF”).
- KKPR: Sistem OSS melaksanakan pemeriksaan lokasi usaha melalui KKPR untuk mengecek kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan rllang dengan rencana tata ruang. Hal ini meliputi konfirmasi KKPR (diberikan berdasarkan kesesuaian rencana lokasi kegiatan pemanfaatan ruang dengan Rencana Detail Tata Ruang/RDTR) atau persetujuan KKPR (diberikan dalam hal RDTR belum tersedia. Jika pelaku usaha merupakan usaha mikro dan risiko usaha rendah, KKPR atas lokasi usaha diterbitkan melalui sistemm OSS berupa pernyataan mandiri dari pelaku usaha.
- PL: PL wajib dimiliki oleh Pelaku Usaha untuk setiap usaha dan/atau kegiatan yang memiliki dampak penting atau tidak penting terhadap lingkungan. PL diberikan berdasarkan pemenuhan dokumen lingkungan lingkup berupa AMDAL, UKL-UPL, atau SPPL. Bentuk PL berupa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup untuk usaha yang wajib Amdal, Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk usaha yang wajib UKL-UPL, dan SPPL untuk usaha yang tidak wajib amdal maupun UKL-UPL.
- SLF dan PBG: SLF dan PBG disyaratkan bagi pelaku usaha yang memerlukan pembangunan bangunan gedung untuk tempat usaha. Namun, pelaku usaha dapat langsung menyampaikan permohonan SLF pada saat mengajukan permohonan PB apabila memiliki bangunan gedung yang telah berdiri dan telah memiliki PBG.
Setelah pemenuhan legalitas dan persyaratan dasar telah terpenuhi, pelaku usaha melakukan pengajuan perolehan PB sesuai dengan kegiatan usaha yang akan dijalankan. Untuk usaha dengan risiko rendah hingga menengah rendah, pelaku dapat langsung mulai menjalankan usaha dan komersial setelah memperoleh PB. Sementara untuk usaha berisiko menengah tinggi hingga tinggi, berjalannya usaha baru dapat dimulai setelah PB diterbitkan, dengan ketentuan tambahan bahwa jika terdapat persyaratan diperlukannya PB UMKU untuk kegiatan usaha tersebut, maka pelaku usaha wajib memilikinya sebelum menjalankan usaha.
Penerbitan PB UMKU
PP 28/2025 mengatur secara jelas pemisahan antara penerbitan PB dan penerbitan PB-UMKU. Proses penerbitan PB UMKU dirancang dengan sistem terdesentralisasi yang melibatkan berbagai otoritas sesuai tingkat kewenangannya. Pada tingkat nasional, Lembaga Online Single Submission (“OSS”) berwenang menerbitkan izin atas nama menteri atau kepala lembaga pemerintah pusat. Sementara di tingkat daerah, kewenangan ini diserahkan kepada kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (“DPMPTSP”) provinsi yang bertindak atas nama gubernur untuk wilayah provinsi, serta kepala DPMPTSP kabupaten/kota yang bertindak atas nama bupati atau walikota untuk administrasi wilayah masing-masing. Dalam kasus-kasus khusus yang diatur oleh ketentuan internasional, menteri atau kepala lembaga terkait dapat menerbitkan PB UMKU secara langsung melalui Sistem OSS.
Pembaruan Mekanisme Persetujuan Lingkungan
Salah satu perubahan paling substansial dalam PP 28/2025 adalah kewajiban mutlak untuk mengajukan semua permohonan Persetujuan Lingkungan, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (“AMDAL”) dan Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (“UKL-UPL”), secara eksklusif melalui sistem OSS. Pengajuan secara manual kini secara tegas tidak lagi diizinkan.
- Integrasi Penuh PL (AMDAL, UKL-UPL, dan SPPL) ke Sistem OSS: Sebelumnya, proses persetujuan lingkungan seringkali melibatkan prosedur manual yang memakan waktu dan membebani pelaku usaha. Dengan PP 28/2025, seluruh proses persetujuan lingkungan, mulai dari pengajuan permohonan hingga verifikasi dan persetujuan, kini sepenuhnya terintegrasi secara elektronik melalui platform OSS.
- Penetapan Batas Waktu Penilaian yang Lebih Tegas (SLA Lingkungan): PP 28/2025 secara eksplisit menetapkan batas waktu yang jelas untuk berbagai penilaian dampak lingkungan, yang sebelumnya menjadi sumber ketidakpastian bagi pelaku usaha. Misalnya, analisis emisi dan air limbah memiliki batas waktu maksimal 30 hari kerja, penilaian limbah B3 maksimal 16 hari, dan analisis dampak lalu lintas maksimal 23 hari.
- Paralelisme Proses Persetujuan Lingkungan dan Teknis: PP 28/2025 juga memperkenalkan pemrosesan paralel persetujuan lingkungan dan teknis melalui platform OSS, yang semakin mempercepat lini masa perizinan. Selain itu, peraturan ini memfasilitasi delegasi kewenangan penerbitan persetujuan ini kepada pemerintah daerah, termasuk gubernur, bupati, wali kota, atau administrator zona, yang bertujuan untuk mempercepat perizinan dan mendorong investasi lokal.
Pengembangan Sistem OSS
Melalui PP 28/2025, sistem OSS kini memiliki enam subsistem utama.
- Subsistem Pelayanan Informasi: Subsistem ini berfungsi sebagai pusat informasi dan bantuan bagi pelaku usaha untuk memperoleh Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PBBR”) dan informasi terkait lainnya.
- Subsistem Persyaratan Dasar: Subsistem ini berfungsi untuk mengelola dan menyediakan akses terhadap izin-izin fundamental yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum memulai kegiatan bisnis.
- Subsistem Perizinan Berusaha: Subsistem ini merupakan komponen krusial untuk mengelola dan menerbitkan PB berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha.
- Subsistem Fasilitas Penanaman Modal: Subsistem ini berfungsi untuk memfasilitasi pelaku usaha dalam mengajukan berbagai insentif dan fasilitas investasi.
- Subsistem Kemitraan: Subsistem ini dirancang untuk memantau dan memastikan pemenuhan kewajiban kemitraan oleh pelaku usaha. Ini mencakup kemitraan yang diatur dalam undang-undang dan peraturan di bidang investasi, kemitraan wajib lainnya yang disyaratkan oleh ketentuan perundang-undangan, serta kemitraan sukarela yang dilakukan oleh pelaku usaha.
- Subsistem Pengawasan: Subsistem ini berfungsi untuk memastikan bahwa kegiatan usaha mematuhi persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU, serta memantau realisasi investasi.
Penegasan Sanksi Administratif
PP 28/2025 mengatur secara rinci penjatuhan sanksi administratif bagi Pelaku Usaha yang melanggar persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU. Jenis sanksi administratif dan mekanisme penjatuhan:
Sanksi administratif yang diatur dalam PP 28/2025 mencakup:
- Peringatan;
- Penghentian sementara kegiatan usaha;
- Pengenaan denda administratif;
- Pengenaan daya paksa polisional;
- Pencabutan lisensi/sertifikasi/persetujuan; dan/atau
- pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU
Penjatuhan sanksi administratif ini didasarkan pada tingkat kepatuhan yang ditemukan selama kegiatan pengawasan. Berbeda dengan PP 5/2021 yang hanya mengatur sanksi perizinan berusaha secara sektoral, PP 28/2025 memperkenalkan pasal yang menyediakan kerangka umum sanksi administratif bagi pelaku usaha di berbagai sektor. Kerangka umum ini merinci jenis sanksi dan mekanisme penjatuhannya, yang dilakukan berdasarkan hasil pengawasan melalui sistem OSS oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan.


