Penulis: Murodi al-Batawi
GETPOST.ID, Jakarta – Menarik ketika Pusat Studi Betawi (PSB) UIN Jakarta diajak berkolaborasi dengan Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi Kemenag RI, untuk menerjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa Betawi.
Menariknya, karena selama ini, terjemahan al-Qur’an yang biasa dibaca adalah terjemahan bahasa Indonesia dan beberapa bahasa daerah, seperti Jawa, Sunda dan Melayu, sehingga bagi yang ingin memahami arti dari ayat yang dibaca, bisa langsung dapat dimengerti. Tanpa harus belajar bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan seterusnya. Selain itu, terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa daerah, juga merupakan salah satu upaya pelestarian bahasa dan budaya suatu daerah, seperti kebudayaan Betawi.
Terlebih proyek ini dikerjakan bareng dengan lembaga semi otonom UIN Jakarta, Pusat Studi Betawi. Lembaga ini, selain memiliki otoritas keilmuan, karena melibatkan para ahli di bidangnya, juga semua penerjemah adalah para sarjana dan guru besar asli dari komunitas masyarakat Betawi. Dengan demikian, proyek penterjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Betawi, menjadi menarik dan sangat penting. Terlebih, kerja ini juga melibatkan Pemprov Jakarta yang mengajak budayawan dan pemerhati kebudayaan Betawi.
Lebih menarik lagi yang perlu diketahui, masyarakat Betawi merupakan komunitas etnis yang religius. Sebab hampir semua tradisi dan budaya yang diciptakannya selalu bernuansa religi. Karena itu, sekali lagi, kerja sama ini menguntungkan kedua belah pihak. Pihak pengelola proyek, berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Pihak PSB dan komunitas masyarakat Betawi juga sangat diuntungkan, karena bahasa dan budayanya dapat dilestarikan dan dikembangkan dengan baik, sehingga masyarakat Betawi tidak perlu resah lagi kehilangan pijakan dasar budaya dan bahasanya.
Bahasa Betawi: Bahasa Melayu Indonesia
Dahulu, sebelum dilakukan penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa daerah dan khususnya bahasa Betawi, umumnya mereka yang bukan ahli agama atau masyarakat awam, membaca terjemahan yang berbahasa Indonesia. Ini mungkin juga hingga kini, sebelum proyek terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Betawi, mereka masih melakukannya.
Kalau begitu, pertanyaan yang mesti dimunculkan, apakah orang Betawi awam akan tetap meneruskan membaca terjemahan al-Qur’an berbahasa Indonesia atau terjemahan berbahasa Betawi. Karena hanya mngganti ejaan berbahasa Indonedia menjadi bahasa Betawi. Terlebih jika penerjemahnya ada yang kurang paham suatu istilah Betawi.
Pertanyaan lainnya, Betawi merupakan sebuah konsep kultural, bukan teritorial. Secara kultural, yang disebut masyarakat Betawi adalah masyarakat yang berbudaya dan berbahasa Betawi. Cakupannya lebih luas dari hanya teritorial. Jika secara teritorial, yang disebut Betawi dahulu hanya sebatas wilayah DKI Jakarta. Maka secara kultural, yang disebut Betawi adalah masyarakat yang tinggal dan menetap di wilayah Jakarta,Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang (Jabodetabekwang).
Mereka menetap di daerah yang sudah berakulturasi dengan bahasa dan budaya Sunda. Karena itu, bahasa Betawi, seperti yang disebut dosen Yasmin Shahab, sebagai masyarakat Betawi pinggiran. Berbeda dengan bahasa dan budaya masyarakat Betawi tengah atau pusat. Masyarakat Betawi tengah memiliki bahasa dan budaya yang dipengaruhi oleh budaya dan bahasa Melayu dan Arab/Islam.
Oleh karena itu, saya menyarankan, terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Betawi tengah, yang halus dan hasil dari akultasi budaya Betawi Melayu Islam. Seperti terjemahan dari kata أنا-أنت, harus diterjemahkan dengan kata (ane dan ente), jangan diterjemahkan jadi kata (elu-gue), misalnya.
Jika disepakati begitu, maka terjemahan ini menjadi khazanah tersendiri dalam pelestarian tradisi bahasa dan budaya Betawi.
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.