GETPOST.ID, Jakarta- Invermectin yang dikenal sebagai obat cacing kini diklaim bisa dipakai sebagai obat Covid-19. Dewan Pakar PP IAI, Prof Dr apt Yahdiana Harahap dalam jumpa pers yang digelar secara daring oleh Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), Jumat 2 Juli 2021 malam lalu menyampaikan jurnal terbaru yang terbit pada 28 Juni dari Oxford Academy, yaitu Clinical Infectious Disease.
Dalam tulisan tersebut, dilakukan studi pemberian ivermectin dan placebo pada pasien, ternyata hasilnya tidak ada perbedaan yang signifikan. Dalam jumpa pers yang digelar secara daring oleh Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), Jumat 2 Juli 2021 malam lalu.
‘’Placebo adalah obat kosong, tidak ada bahan aktif obat didalamnya. Dari studi itu disimpulkan ivermectin tidak memberikan efek sebagai anti virus covid-19. Kemudain kajian lain dari American Medicine Association di AS dilakukan studi terhadap 476 pasien dengan gejala ringan, ternyata juga tidak memberikan efek. Ini adalah kajian secara ilmiah, karena kalau kita ingin melakukan pengembangan obat, tentu harus ada bukti yang mengawali yaitu uji in vitro, kalau oke lalu uji pre klinik berlanjur ke uji fase 1,2,3. Namun sebelum sampai kesana harus dilakukan kajian farmakokinetik untuk menentukan dosis yang tepat,’’ ungkap yahdiana.
Sementara dalam pemaparannya, Prof Dr apt Zullies Ikawati menyampaikan bahwa dalam pengembangan obat, repurposing bukanlah hal yang tabu. Menggunkan satu obat untuk beberapa indikasi sangat dimungkinkan. Sebagaimana yang terjadi pada hidroksiklorokuin yang sempat dikeluarkan EUA dan masuk dalam panduan terapi Covid-19 tahun lalu. Obat anti malaria ini, tahun lalu sempat diklaim mamu melawan Covid-19, namun dalam penggunaan selanjutnya ditemukan adanya efek samping yang lebih besar dibandingkan khasiat obatnya. Karena itu EUA nya dicabut dan dikeluarkan dari panduan terapi.
‘’Ivermectin pun bisa melalui hal yang sama. Mungkin saja nanti uji klinis bisa memberikan data bahwa bisa digunakan sebagai obat Covid-19, EUA dikeluarkan dan masuk dalam panduan terapi. Untuk itu semua harus didasarkan pada bukti ilmiah. BPOM sudah mengeluarkan PPUK untuk mengobati rasa penasaran kita semua terhadap ivermectin. Kita tunggu saja hasilnya nanti. Apabila nanti ternyata memang uji klinik cukup memuaskan BPOM sehingga dikeluarkan EUA nya, tetapi harus diamati lebih lanjut. Apakah konsistem hasilnya, benefitnya tetap muncul, bila bermanfaat akan diteruskan, tetapi bila ternyata ditemukan masalah dari segi keamananya, sebagaimana hidroksiklorokuin maka bisa saja dicabut EUA nya dan dikeluarkan dari panduan terapi.
Sebenarnya, lanjut Zullies, strategi drug repurposing ini sebenarnya merupakan strategi yang menguntungkan, karena menggunakan obat yang sudah pernah dievaluasi sebelumnya mengenai keamanan. Ketika obat dikembangkan pada tahun 1975 Prof Omura dan mendapatkan approval pada tahun 1981 oleh FDA, kemanan dan efikasi sebagai anti parasit, yang tentunya dosis berbeda bila untuk covid-19.
Uji klinik memang sudah banyak dilakukan di beberapa negara, tapi sangat bervariasi, baik secara desain, jumlah subyek, keparahan dari subyek dan outcome klinis yang diukur. Begitu juga variasi dosis yang digunakan. Ada yang menggunakan 0,2 mg/kg sekian hari, ada yang 0,4 mg/kg BB ada pula yang 0,6 mg/kg.
‘’Jadi kita memang harus mencoba menggunakan dosis sendiri, yang tadi menurut Prof Yahdiana juga masih perlu disesuaikan sebetulnya, akan jadi bukti apakah betul akan jadi obat yang potensial atau tidak untuk Covid-19 ini. Ketika ada orang dengan testimoni sembuh dengan ivermectin tentu tidak bisa langsung menyetujui, karena siapa tahu sembuhnya ada faktor lain, karena tidak ada pembanding. Kalau mengatakan saya sembuh oleh ivermectin, kalau orang lain juga sembuh dalam waktu yang sama, berarti belum tentu karena ivermectin. Sehingga perlu dibuktikan dengan uji klinik, mari tunggu uji klinik yang sudah diijinkan BPOM. Bila ada yang ingin tetap menggunakan, harus dibawah pengawasan dokter, karena obat keras harus diperoleh dengan resep dokter,’’ urai Zullies.
Baca:
– Kata Pakar Apoteker Soal Invermectin untuk Obat Covid-19
– Menyesatkan sebagai Obat Covid-19, Invermectin Harus Melalui Uji Klinis dan Data Valid
– Invermectin, Obat Cacing yang Bisa Merusak Susunan Saraf Pusat
Apt Audrey Clarisa, dari Bidang Branding PP IAI mengatakan, India memiliki pengalaman lebih panjang dalam penggunaan ivermectin secara off label yang kemudian masuk dalam panduan terapi di negara tersebut. Namun pada akhir Mei lalu, Departeken Kesehatan India memutuskan untuk mencabut ijin yang diberikan kepada ivermectin sebagai anti Covid-19. Pencabutan ijin itu dilakukan berdasarkan laporan dari para dokter yang menemukan banyaknya efek samping yang terjadi dan bahkan mengakibatkan keparahan yang tinggi.
‘’Oleh karena itu tentunya kita belajar dari pengalaman India, BPOM dan apoteker melihat ini satu hal yang patut dicermati, karena kita harus memastikan bahwa produk yang digunakan harus memenuhi tiga kriteria yaitu kualitas, efikasi dan safety. Jadi selain khasiatnya yang harus diperhatikan adalah keamananya. Jangan sampai setelah menggunakan obat ini muncul efek samping yang tidak diinginkan dan diharapkan. Saat ini sudah tercatat dalam beberapa kejadian. Oleh karena itu efek samping ini perlu dipelajari lebih jauh. Sehingga apabila nanti akhirnya digunakan sebagai obat Covid dalam pengawasan dokter, resikonya sudah dapat diketahui. Jangan sampai melakukan hal yang sia-sia. Masyarakat perlu mempertimbangkan lebih jauh lagi dan tidak menggunakan tanpa pengawasan tenaga Kesehatan dengan ketat,’’ paparnya.
Prof Dr apt Siswandono, dalam kesempatan itu secara tegas mengatakan, bila belajar dari kasus di India, dimana ditemukan banyak efek samping, maka ia menganjurkan agar tidak perlu menggunakan ivermectin sebagai obat Covid-19. Apalagi mengacu dengan dosis yang dibutuhkan ternyata sangat tinggi, tentu memungkinkan terjadinya toksisitas yang juga tinggi.
‘’Semula digunakan untuk obat cacing dengan efek local, sehingga memang obat didesain agar tidak diserap oleh tubuh, sementara sekarang akan digunakan sebagai anti virus dengan efek sistemik dengan syarat obat harus dapat diserap oleh tubuh dengan baik, jadi tidak mungkin bisa digunakan untuk anti virus,’’ tegasnya.
Apt Lusy Noviani, Wakil Sekjen PP IAI yang juga praktisi di rumah sakit menyebutkan, sejauh ini di rumah sakit tempat ia bepraktek tidak ada seorang dokter pun yang menggunakan ivermectin. Baik dari Komite Farmasi Terapi maupun Komite Medis.
‘’Ia menyayang sikap masyarakat yang bereaksi begitu luar biasa, hanya dengan mendengarkan informasi yang setengah-setengah. Kami dari rumah sakit, dengan pertimbangan medis, evidence base dan pertimbangan resiko maupun benefit memutuskan untuk menunggu penggunaan ivermectin hingga hasil uji klinis diperoleh,’’ paparnya.
Alia F