GETPOST.ID, Jakarta- Kasus Covid-19 makin meningkat di Indonesia dan memecahkan rekor harian, untuk itu Front Line Covid-19 Critical Care Alliance (FLCCC) mendesak pemerintah Indonesia dan regulator untuk memberikan izin edar bagi obat ivermectin sebagai obat dan juga pencegahan Covid-19.
Chief Medical Officer FLCCC, Pierre Kory, beralasan bukti nyata dari segi kuantitatif maupun kualitatif yang menunjukan kemanjuran ivermectin sebagai obat melawan Covid-19 sejauh ini sangat baik. “Kami sudah memiliki data yang sangat banyak. Sudah bidak bisa lagi menyangkal dan beralasan untuk menunggu penelitian-penelitian dari negara berpenghasilan tinggi. Saatnya sekarang untuk dunia menggunakan ivermectin secara massal demi segera mengatasi pandemi Covid-19,” ujar Kory dalam webinar bersama media, Senin 28 Juni 2021 dikutip dari Berandasehat.id
Kory menambahkan,. FLCCC telah menyampaikan surat kepada Presiden Joko Widodo berisi penjelasan singkat tentang FLCCC dan ivermectin. “Kami juga sampaikan imbauan untuk pemerintah Indonesia segera menggunakan ivermectin untuk menyelamatkan rakyatnya dari Covid-19,” imbuhnya.
Obat ivermectin sudah digunakan di seluruh dunia selama 40 tahun dan digunakan oleh lebih dari 4 miliar manusia sebagai obat anti-parasit (kecacingan). Pada 2012, penelitian menemukan bahwa ivermectin juga bisa menghalangi virus Zika, Dengue, West Nile, Influenza, dan HIV.
FLCCC menegaskan, sejauh ini belum ada manusia yang tercatat meninggal karena mengonsumsi obat ivermectin, maka sejarah dan tingkat keamanan ivermectin dinilai sangat baik. Menanggapi hal ini, pemerhati kesehatan Julian Afferino mengatakan, pernyataan yang disampaikan FLCCC terkait belum ada yang meninggal karena mengonsumsi ivermectin tidaklah tepat. Alasannya, bisa jadi belum ada catatan kasus fatalitas akibat ivermectin. “Seandainya benar pernyataan terkait keamanan ivermectin tersebut, alasannya karena selama ini ivermectin hanya digunakan sebagai anti-parasit dengan dosis 0.2 mg/kg berat badan dengan penggunaan sekali setahun (sebagai obat cacing). Akan berbeda jika ivermectin digunakan untuk Covid-19 dengan dosis melebihi 0.2 mg/kg berat badan. Untuk itulah diperlukan uji klinis,” beber Julian.
Dalam hal penanganan Covid-19, FLCCC mengatakan ivermectin telah digunakan di 33 negara, melalui 60 uji klinis dan melibatkan lebih dari 549 ilmuwan, serta 18,931 pasien dari berbagai negara. Hasil studi diklaim sangat baik dan membuktikan bahwa ivermectin efektif sebagai obat pencegahan maupun penyembuhan penyakit Covid-19. Sebagai obat pencegahan (profilaksis), ivermectin efektif melawan Covid-19 rata-rata sebesar 85%, sebagai pengobatan dini 76%, dan dapat mengurangi tingkat kematian sebesar 70%. Pada penelitian terbaru, hasil menunjukan ivermectin dapat menghalang perkembangan varian baru Covid-19 seperti varian asal Inggris, Vietnam dan India.
Terhadap hasil ini, Julian yang jebolan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengatakan, sebenarnya jika mau dibandingkan, ada 259 lebih studi meta-analisis untuk kloroquin (obat yang dulu juga diklaim efektif obati Covid-19 di masa awal pandemi), dibandingkan hanya 60 uji klinis untuk ivermectin. “Tetapi pada akhirnya kloroquin dikeluarkan dari daftar obat Covid-19 oleh hampir semua negara di dunia,” ujar Julian.
Julian menyatakan keheranan atas klaim ivermectin sebagai profilaksis (pencegahan) dan efektif melawan Covid-19 rata-rata sebesar 85 persen. “Ini mengherankan. Jika ivermectin digunakan sebagai profilaksis Covid-19, itu berarti ivermectin dikonsumsi secara teratur selama masa pandemi. Ini pernyataan menyesatkan. Karena bagaimana mungkin menggunakan ivermectin sebagai profilaksis Covid-19 tanpa didasari dengan data farmakokinetik yang valid,” beber konsultan farmasi yang juga apoteker senior ini.
Julian menambahkan, semua pihak pastinya tidak akan keberatan dengan penggunaan ivermectin (untuk terapi Covid-19) asalkan dengan pengawasan yang memadai, sambil menunggu hasil uji klinis. “Bukan disebarluaskan seperti membagi-bagi permen lolipop. Kita sama-sama berjuang mengatasi pandemi ini dengan memberi kesembuhan dan dengan efek samping yang seminimal mungkin. Maka dari itu hendaknya setiap upaya melawan pandemi ini harus memiliki dasar ilmiah yang kuat,” tandas Julian seraya menambahkan bahwa tingkat keamanan ivermectin sebagai anti-parasit tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa tingkat keamanannya akan sama jika digunakan sebagai obat Covid-19 pada manusia, karena mungkin berbeda dalam takaran dosis yang digunakan.
“Data-data farmakokinetika harus disajikan valid, sehingga bila muncul efek toksik maka langkah-langkah cepat bisa diupayakan untuk tindakan keselamatan,” desak Julian.
Baca:
Invermectin, Obat Cacing yang Bisa Merusak Susunan Saraf Pusat
Izin Edar Prematur
Ketua FLCCC Alliance Indonesia, Sofia Koswara menambahkan, sudah waktunya ivermectin diberikan izin sebagai obat Covid-19. Di negara Slovakia baru saja pemerintahnya memberikan izin pengedaran ivermectin sebagai obat Covid-19. “Bukti nyata dalam bentuk uji klinis, meta analisis, studi penelitian dan penggunaan di lapangan sudah ada dari berbagai negara, termasuk di Indonesia,” ujarnya. “Keadaan di negara kita ini sudah darurat, mau tunggu apa lagi. Saya mengimbau untuk ivermectin segera diberi izin edar sebagai obat Covid-19, serta diizinkan juga sebagai obat tanpa resep supaya lebih terjangkau oleh masyarakat.”
Menanggapi soal desakan pemberian izin edar ivermectin sebagai obat Covid-19 di Indonesia dengan mengambil contoh Slovakia, Julian mengatakan memang benar Slovakia merupakan negara Uni Eropa pertama yang menyetujui penggunaan ivermectin, tetapi itu hanya merupakan izin penggunaan terbatas hingga 6 bulan ke depan. “Itu artinya ada pengawasan dan evaluasi,” ujarnya.
Sedangkan di India terjadi tanggapan beragam dari setiap negara bagian. Julian menyebut, ada lebih kurang 36 wilayah/negara bagian di India dan beberapa negara bagian India justru mengeluarkan ivermectin dari obat Covid-19. “Permintaan agar ivermectin segera diberi izin edar sebagai obat Covid-19, serta diizinkan juga sebagai obat tanpa resep tampaknya terlalu berlebihan, meskipun itu dilandasi dengan niat baik,” ujar Julian seraya menyebut beberapa efek samping yang terjadi pada hewan akibat toksisitas ivermectin, seperti: muntah, gemetar, depresi, ataksia, takikardia, gangguan pernapasan, diare, kebutaan dan banyak lagi.
“Maka dari itu kita harus bersabar agar otoritas pengawas obat dan makanan (BPOM) bekerja untuk semua data terkait ivermectin, agar kita memiliki acuan penggunaan untuk melindungi pasien dan memberi rasa aman bagi tenaga medis dalam merekomendasikan ivermectin,” tandas Julian.
Uji Klinis Ivermectin di Indonesia
Di kesempatan terpisah, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengatakan lembaga itu menyetujui pelaksanaan uji klinis guna mengetahui efektivitas dan keamanan penggunaan ivermectin untuk obat terapi pasien COVID-19.
Persetujuan pelaksanaan uji klinis ivermectin diberikan berdasarkan sejumlah pertimbangan, termasuk kondisi persebaran penyakit, publikasi global mengenai penggunaan ivermectin, dan panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai pengobatan pasien COVID-19.
Penny mengatakan, uji klinis penggunaan Ivermectin dalam penanganan pasien COVID-19 rencananya dilakukan di delapan rumah sakit, yakni Rumah Sakit Persahabatan (Jakarta), Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso (Jakarta), Rumah Sakit Soedarso (Pontianak), Rumah Sakit Adam Malik (Medan), RSPAD Gatot Subroto (Jakarta), Rumah Sakit Angkatan Udara Dr. Esnawan Antariksa (Jakarta), Rumah Sakit Suyoto (Jakarta), dan Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet (Jakarta).
“Bila masyarakat membutuhkan obat ini dan tidak dapat ikut dalam uji klinik dokter, juga dapat memberikan obat ini dengan memperhatikan penggunaan sesuai dengan protokol uji klinis yang disetujui,” kata Penny dalam temu media virtual, Senin (28/6).
BPOM sebelumnya menyatakan bahwa ivermectin belum bisa disetujui digunakan dalam pengobatan pasien COVID-19 karena data uji klinis mengenai penggunaannya untuk itu belum tersedia.
Di kesempatan sama Penny mendorong masyarakat untuk tidak latah membeli ivermectin secara bebas, termasuk membelinya melalui platform perniagaan daring, tanpa lebih dulu berkonsultasi dengan dokter. Alasanya, ivermectin tergolong obat keras yang pembeliannya harus dilakukan dengan resep dokter dan penggunaannya harus di bawah pengawasan dokter.
Penggunaan ivermectin yang mendapat izin edar sebagai obat cacing tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter dalam jangka panjang dapat mengakibatkan efek samping seperti nyeri otot/sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, dan Sindrom Stevens-Johnson.
Alia.F