GETPOST.ID, Jakarta- Rencana Menteri BUMN, Erick Thohir untuk memproduksi Ivermectin guna terapi Covid-19 mendapat sambutan keras dari berbagai pihak. Setelah epidemiolog UI, Pandu Riono menyebut Erick berbohong soal ijin BPOM untuk Ivermectin, pengamat Kesehatan Julian Afferino membeberkan fakta lain mengenai Ivermectin, yang disebut bisa merusak Susunan Saraf Pusat (SSP).
‘’Di Indonesia Ivermectin diberi ijin edar sebagai anti parasit atau dikenal sebagai obat cacing, dan belum ada ijin untuk penggunaan anti Covid-19, belum ada uji klinik nya. Jadi rencana Menteri BUMN Erick Thohir untuk memproduksi Ivermectin guna terapi Covid-19 harus dipikirkan ulang,’’ ungkap apoteker lulusan Fakultas Farmasi UGM tersebut, baru-baru ini dikutip dari SuaraMerdeka.com
Menurut Julian hingga saat ini belum ada rekomendasi yang dikeluarkan oleh WHO mengenai penggunaan Ivermectin untuk Covid-19. Begitu pula dengan negara-negara maju lainnya di dunia.
‘’Kebanyakan yang menggunakan Ivermectin adalah masyarakat negara-negara berkembang (Development Country) seperti Peru dan Bolivia , yang dalam kepanikan dan desakan masyarakat melalui medsos mencoba menggunakan apa saja untuk mengobati Covid-19,’’ ungkap CEO Pharmacare Consulting tersebut.
Sementara itu di Afrika Selatan otoritas setempat (South African Health Product Regulatory Authority, SAHPRA) dan para ahli terkemuka di negara itu mengingatkan untuk tidak menggunakan ivermectin untuk mengobati Covid-19, dan di India yang sempat mengeluarkan Emergency Use Authorisation (EUA) atau ijin pemakaian darurat, kemudian mengeluarkan ivermectin dari regimen obat Covid-19.
Karena itu Julian meyakini, BPOM memberikan ijin edar Ivermectin sebagai anti parasite/cacingan (strongyloidiasis dan onchocerciasis) dengan dosis tunggal 12 mg untuk pemakaian sekali dalam setahun, dan bukan sebagai obat Covid-19.
Ia kemudian mengingatkan adanya ‘warning’ dari pengawas obat dan makanan di seluruh dunia, untuk tidak menggunakan Ivermectin dalam kasus Covid-19 sebelum ada uji klinis. Julian kemudian mengingatkan kembali maraknya penggunaan klorokuin di awal pandemi, yang kemudian ternyata terbukti tidak mampu mengatasi Covid-19 dan berpotensi menimbulkan banyak efek samping yang berbahaya. Begitu juga kali ini, Ivermectin disebut Julian juga memberikan efek berbahaya bila digunakan tanpa dasar ilmiah yang kuat.
Dosis Ivermectin yang disarankan adalah 200 ug/kg berat badan, sehingga kaplet Ivermectin di pasaran dengan dosis 12 mg adalah dosis untuk mereka yang memiliki berat badan 60 kg.
Maraknya Ivermectin, lanjut Julian diawali dari penelitian di Australia yang melakukan penelitian secara in vitro. Namun penelitian tersebut menggunakan dosis yang besar, sehingga bila dikonversi untuk penggunaan kepada pasien Covid-19 akan terlalu besar dan berbahaya, sulit diterapkan secara in vivo atau pada manusia.
Menurut Julian, bila Ivermectin diberikan kepada pasien Covid-19 dengan kondisi berat, maka zat tersebut akan masuk ke dalam siklus Glutamate-Gatted Chlorine Channel. Bila terjadi inflamasi berat akibat badai sitokin maka dosis itu sudah cukup untuk mengakibatkan kerusakan SSP/otak. Karena inflamasi hebat dapat menyebabkan kebocoran sawar darah otak (Brain Blood Barrier/BBB) dan berikatan dengan reseptor GABA.
Pada parasit, Ivermectin berikatan dengan reseptor chlorine ion channel sehingga merusak saraf dan otot parasit, begitulah cara Ivermectin melumpuhkan cacing. Jika dalam kondisi inflamasi hebat maka bisa terjadi kebocoran pada Blood Brain Barrier (Sawar Darah Otak) sehingga Ivermectin akan masuk ke jaringan otak dan berikatan dengan Chlorine ion Channel, maka nasib otak pasien akan sama dengan cacing, yakni sarafnya akan mengalami kerusakan dan kelumpuhan.
Bila terjadi kerusakan otak/SSP pasien akan mengalami gejala seperti stroke, kelumpuhan anggota gerak badan. Bila penderita stroke masih mampu berpikir, maka tidak begitu dengan mereka yang mengalami kerusakan SSP. Kerusakan ini juga akan menetap atau permanen.
Julian juga mengingatkan, Ivermectin tidak boleh digunakan pada anak dibawah usia 5 tahun.
Oleh karena itu, sebelum menggunakan Ivermectin sebagai obat Covid-19 maka perlu dilakukan serangkaian uji klinik, agar diketahui berbagai efek samping lain yang mungkin timbul. “’Mengurus ijin penggunaan obat, tidak bisa disamakan dengan mengurus ijin UKM. Rangkaian panjang uji klinis harus dilakukan, karena ini menyangkut nyawa manusia,’’ tegasnya.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes RI baru berencana mengadakan riset penggunaan Ivermectin untuk Covid-19 setelah adanya desakan publik. Sementara BPOM juga telah menegaskan, pihaknya akan menindak tegas penjualan Ivermectin tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku.
Dalam pernyataannya, BPOM menyampaikan, ijin edar yang diberikan BPOM adalah Invermectin sebagai obat cacing. Ivermectin kaplet 12 mg yang terdaftar di Indonesia digunakan untuk indikasi infeksi kecacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis). Ivermectin diberikan dalam dosis tunggal 150-200 mcg/kg Berat Badan dengan pemakaian 1 (satu) tahun sekali. Ivermectin termasuk jenis obat keras, sehingga pembeliannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter.
Penggunaan secara bebas tanpa pengawasan dokter akan memberi efek samping yang beragam seperti nyeri otot/sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, dan Sindrom Stevens-Johnson.
Alia. F