GETPOST.ID, Jakarta- Masyarakat Betawi selain masyarakat inti Jakarta, juga dikenal sebagai masyarakat yang religius. Tak heran Islam dan Betawi bagai tak dapat dipisahkan dan sebutan Betawi selalu dinisbahkan dengan Islam.
Zainut Tauhid Sa’adi, Wakil Menteri Agama RI, mengatakan masyarakat Betawi sebagai pilarnya masyarakat religius Indonesia. Salah satu ciri utama orang Betawi adalah umumnya menganut paham ‘ahlus sunnah wal jamaah’ dan bermazhab Imam Syafi’i sehingga cenderung memiliki toleransi tinggi.
“Paham ahlus sunnah wal jamaah ini moderat sehingga paham ini pada akhirnya mampu menetralisir konflik budaya dan agama. Bukan hanya di kalangan masyarakat Betawi, tapi juga Jakarta bahkan Indonesia,” kata Wamen Zainut ketika menjadi pembicara kunci di Kuliah Daring Gerakan Kebangkitan Betawi (Gerbang Betawi) bertema ‘Genealogis Ulama Betawi: Budaya, Identitas, dan Pembangunan Umat’, akhir pekan lalu 4 Februari 2021.
Wamen pun menceritakan teladan ulama besar Betawi KH Abdullah Syafii yang NU kepada sahabatnya Buya Hamka, tokoh Muhammdiyah. Persahabatan dua ulama besar itu begitu ikonik. Keduanya tahu tempat dan membawa diri masing-masing, sehingga selalu tampak rukun di kesempatan apa pun.
Kuliah Gerbang Betawi kali menampilkan dua narasumber, yakni Prof Dr Murodi Al Batawi, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, dan penulis buku ‘Genealogi Ulama Betawi’, Rakhmat Zailani Kiki. Serta pembacaan sajak oleh budayawan Betawi Yahya Andi Saputra.
Menurut Prof Murodi, ada beragam sebutan untuk ulama di Betawi misalnya Guru atau Tuan Guru -diduga berasal dari tradisi Sumbawa atau Nusa Tenggara, Syekh (dipengaruhi Timur Tengah), dan Kiai yang diyakininya pengaruh tradisi pesantren di Jawa.
Sebagian besar ulama Betawi, lanjutnya, adalah mereka yang belajar di Timur Tengah seperti Haramain (Mekkah dan Madinah). Kemudian ketika pulang ke Tanah Air, berbeda dengan kebanyakan santri asal Jawa yang mendirikan pesantren, ulama Betawi berdakwah dari masjid ke masjid, menciptakan tradisi yang kini dikenal sebagai majelis taklim.
“Jadi tradisi majelis taklim murni produk ulama Betawi,” ujar mantan Wakil Rektor UIN Jakarta tersebut.
Namun, dari sedikit ulama Betawi yang mendirikan pesantren itu, tersebutlah nama-nama besar seperti Guru Marzuki, Guru Mansyur, dan Kyai Noer Ali. Ciri khas lain dari ulama Betawi, selain menjadi pendakwah, adalah menjalani multiperan. Tak heran, mereka memiliki kedudukan sentral di masyarakat. Multiperan itu termasuk jago maen pukul, selain menguasai ilmu agama. Bahkan ada ulama yang juga berperan sebagai dokter tradisional alias tabib.
Singkatnya, dalam sejarahnya hingga kini, ulama Betawi berperan kuat sebagai perekat masyarakat. “Peran mereka lebih dari sekadar transfer ilmu pengetahuan,” tegas Prof Murodi.
Masjid Sarana Pemberdayaan Ekonomi Umat
Sementara itu, Rakhmad Zailani Kiki memaparkan fakta nasab ulama-ulama Betawi, yang jika diurut garis keturunannya, ternyata banyak berpangkal pada ulama-ulama pejuang terkemuka dari Jawa. Ada yang nasabnya mengarah kepada Pangeran Diponegoro, Sunan Gunung Jati, dan Pangeran Kuningan.
“Mereka semua bukan sekadar ulama, tapi ulama pejuang yang gigih menentang penjajahan. Jadi dalam gen ulama Betawi itu tertatam kuat gen pejuang,” ungkapnya.
Kata Kiki, ulama Betawi zaman dulu juga mandiri secara ekonomi, sehingga tidak tergantung kepada penguasa. Guru Mughni, misalnya, sempat dilarang Kompeni Belanda saat mendirikan masjid, tapi berkat kedudukannya sebagai ulama-pengusaha yang kaya raya, masjid tersebut berhasil dibangun. Kemandirian ekonomi ini merupakan modal penting yang mestinya juga dimiliki oleh para ulama zaman sekarang.
“Dengan mandiri secara ekonomi, dakwah mereka tidak akan mudah terkontaminasi kepentingan penguasa,” tutur Ustad Kiki yang pernah menjadi pengurus PWNU DKI Jakarta dan Jakarta Islamic Center ini.
Terakhir, meneladani para ulama Betawi di masa lalu, Prof Murodi dan Kiki sepakat bahwa bercermin pada kekhasan berdakwah ulama Betawi yang memanfaatkan fungsi masjid, mestinya mental pejuang dan kemandirian ekonomi itu dapat dilanjutkan dengan memperluas peran masjid masa kini. Masjid tak hanya sebagai sarana ibadah, tapi juga menjadi sarana pemberdayaan ekonomi umat.
RAYHANI