GETPOST.ID, Jakarta- Komunitas Pewarta Hiburan Indonesia (KOPHI) bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar diskusi daring bertema “Saatnya Bangkit Bersama“, pelaku industri kreatif di Indonesia, khususnya di bidang musik dan film.
Melalui diskusi daring tersebut diharapkan bisa memetakan ragam persoalan dan tantangan yang ditimbulkan dari krisis pandemi Covid-19 ini. Mencari solusi secara bersama atas persoalan yang muncul. Dan menyiapkan strategi jangka pendek dan panjang secara bersama untuk melakukan upaya recovery atas krisis yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19.
Edi Irawan, Kepala Kelompok Kerja Apresiasi dan Literasi Musik Direktorat Perfilman Musik dan Media Baru Kemendikbud RI, menyatakan, ada Undang-undang No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan untuk memajukan kebudayaan, khususnya musik.
“Kita ingin menggerakkan ekosistem musik. Industri musik harus dimajukan meski direktoratnya masih sangat baru,” kata Edi Irawan. Beragam agenda sudah disusun dan akan dilakukan beberapa solusi oleh Kemendikbud RI agar musik dan film Indonesia tetap eksis meski masih pandemi Covid-19.
Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) melakukan survei terhadap 1.400 responden di 22 provinsi di Indonesia. Ada tiga kelompok kategori musisi yang terlihat selama pandemi Covid-19 ini muncul di Indonesia sejak medio Maret 2020. Mereka adalah masuk ke dalam kategori mapan, pas-pasan dan rentan.
Survei FESMI menyatakan, dari 1.400 responden itu terlihat sebanyak 34,3 persen musisi adalah yang bekerja di hotel dan kafe, pengiring musik profesional ada 12,9 persen, hingga pengajar sebanyak 10,8 persen.
Sementara artis rekaman tercatat ada 7,1 persen dan digital content creator itu sebanyak 3 persen. Menurut ketua FESMI Candra Darusman rata-rata penghasilan musisi juga beragam. Penghasilan terbanyak mulai Rp 3,1 juta hingga 5juta yakni sebanyak 24,6 persen, Rp 1,1 juta sampai 3juta (19,1 persen) dan Rp 5,1 hingga Rp 7 juta (18,2 persen), Rp 7,1 hingga Rp 10 juta (12,3 persen) serta Rp 100.000 sampai 1juta (10,7 persen).
Sementara musisi yang berpenghasilan Rp 10,1 juta sampai Rp 15 juta (8,9 persen) dan Rp 15,1 sampai Rp 20 juta hanya 3,5 persen.
“Menyikapi pandemi ini, FESMI membagi musisi dalam 3 kelompok tersebut yang tidak tahu mau ngapain,” kata Candra Darusman dalam Webinar tersebut.
Kategori Mapan, kata Candra Darusman, musisi tersebut tidak perlu dibantu selama pandemi Covid-19 karena bisa menggelar konser live streaming sendiri misalnya dan memiliki ruang gerak untuk tetap berkerasi.
Sementara kelompok pas-pasan diketahui memiliki modal tapi sudah mulai menipis dan beralih ke pekerjaan lain lantaran pandemi ini masih berlangsung. Musisi kategori ini yang bisa dilakukan oleh FESMI adalah melakukan pemberdayaan, mencarikan modal, pelatihan e-commerce dan modul latihan live streaming untuk memulai usaha baru.
“Sedangkan (musisi) kelompok rentan diberi bantuan sembako, bantuan langsung tunai dan rumah singgah,” kata Candra Darusman.
Sejauh ini FESMI sudah menyalurkan Rp600 juta ke para musisi, terutama kelompok rentan tadi dan pemberian bantuan ini masih berlanjut sampai sekarang.
Harry Koko Santoso, promotor musik ternama, menyatakan, saat ini ada banyak musisi yang bisa menggelar konser streaming di media sosial. Namun, Harry Koko Santoso melihat, tidak banyak musisi yang bisa melakukannya dengan nilai komersial.
“Ada beberapa grup musik yang melakukan konser live streaming selama pandemi. Ini bentuk kreatifitas yang harus didukung, tapi masih jauh dari harapan agar musisi kita dapat menghasilkan pendapatan,” kata Harry Koko Santoso.
Candra Darusman menambahkan, konser virtual sebenarnya tidak bisa menggantikan konser reguler. “Kita harus membiasakan diri sambil terus berdoa supaya pandemi ini bisa segera berakhir dan bisa nonton konser off air kembali,” ujar Candra Darusman.
Seperti musik, film juga merasakan dampak luar biasa akibat pandemi Covid-19 yang belum berakhir ini. Firman Bintang, Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), menyatakan, Covid-19 tidak hanya membuat iklim dan ekosistem industri, teristimewa industri film Indonesia terpapar, tapi terkapar.
“Saat ini, ketika bioskop ditutup atas nama menegakkan protokol kesehatan, cobaan produser film, dan pemilik bioskop, semakin besar,” kata Firman Bintang. Namun itu tidak harus diratapi karena semua sudah terjadi.
“Kita harus bergandengan bersama, dan saling membangkitkan, demi tetap bertahan di kondisi yang sangat tidak mudah ini,” ujarnya.
Menurut Firman Bintang, mata uang yang sebenarnya dalam industri ini adalah kreatifitas. Sedangkan jualannya, saat sekarang tidak melulu via bioskop. “Jualannya bisa lewat media baru lainnya,” kata Firman Bintang.
Media baru yang dimaksudkan Firman Bintang yang bisa menggantikan layar bioskop antara lain streaming hingga televisi langganan berbayar dan OTT (Over The Top). Atau media yang mengacu pada konten dalam bentuk audio, video, yang ditransmisikan via internet tanpa mengharuskan pengguna untuk berlangganan layanan TV kabel.
Bisa juga satelit tradisional seperti Comcast dan TV everywhere atau video-on-demand terautentikasi atau streaming terautentikasi. “Ada banyak cara untuk jualan. Yang paling utama, kreator film yang semakin meningkatkan kualitas kreatifitasnya agar karya semakin dapat bersaing di tengah pandemi, yang entah sampai kapan berakhir,” ucapnya.
Webinar bertajuk Saatnya Bangkit Kembali, Rabu 2 September 2020 dihadiri oleh puluhan wartawan yang meliput di bidang hiburan dari beragam media di seluruh Indonesia.
Alia Fathiyah