GETPOST.ID, JAKARTA- Tingginya curah hujan di Jakarta dalam beberapa minggu terakhir membuat gundah beberapa warga yang tinggal di pinggir sungai Ciliwung.
Melihat kondisi masyarakat Jakarta yang menjadi korban banjir, menggugah nurani Ketua Tim Relawan IT Depsos tsunami Aceh 2004 , Trisno Eddy. Bersama dengan Umat Gereja Katolik Keluarga Kudus Rawamangun dan GP Anshor Jakarta Timur pada 5 Januari lalu ikut terjun langsung memberikan dukungan korban banjir di Kelurahan Bidara Cina dan Kampung Melayu.
“Sekalipun ada perbedaan diantara kami, namun kami merasakan kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan persaudaraan dalam suasana tersebut. Di sana kami melihat sendiri bekas banjir yang mencapai tembok rumah setinggi empat meter,” ujar Trisno.
Sementara Asep, warga Bidara Cina RT 01/RW 07, mengatakan, “Banjir semacam ini bukan kali pertama yang kami alami”. Menurut Asep, warga yang tinggal di daerah Bidara Cina RT 01/RW 07, banjir semacam ini bukan kali pertama yang di alami. Pria yang semenjak 1986 tinggal tak jauh dari Ciliwung ini merasakan hal yang serupa di tahun 1996, 2007, dan 2014. Dia mengaku harus memulai semua dari awal, pasalnya hanya keluarga, surat-surat, dan kendaraan bermotor yang bisa diselamatkan. Sisanya dia pasrahkan terbawa arus air.
Menurut Trisno, kunjungan ke tempat banjir memberikan jalan keluar untuk mengatasi banjir di kawasan Sungai Ciliwung. “Kami menyaksikan bagaimana penyelesaian permasalahan banjir masih sebatas penundaan. Sebagaimana contoh tanggul-tanggul yang terbuat dari karung berisikan pasir yang terpasang dapat dengan mudah sobek oleh derasnya putaran air dan sampah yang melewati Ciliwung yang berkelok-kelok”,” katanya.
“Puji Tuhan berkat kemajuan ilmu pengetahuan manusia dan teknologi kita dapat dengan mudah mengetahui gambaran Ciliwung. Melalui peta di internet tergambar peta sungai Ciliwung yang berkelok terutama di daerah Bukit Duri. Karena kelokan itu pula sedimentasi yang terbawa air sungai menumpuk dan membentuk ‘leher botol’. Setelahnya, dapat diduga, air tidak dapat berjalan dan menciptakan genangan atau bahkan banjir. Imbasnya penduduk sekitar yang harus menanggung air yang tidak mengalir itu,” ungkapnya.
Menurutnya hal itu menjadi masalah yang bukan sementara tentunya, tetapi sudah menahun. “Melalui pengamatan peta, kami mendapatkan inspirasi, yakni untuk memotong kelokan yang selama ini jadi masalah. Pelurusan Ciliwung dapat dilaksanakan dengan dua metode, yakni dengan membuat sodetan terbuka seperti yang pernah dibuat, atau membuat terowongan besar untuk membelokan saluran air dari lokasi tersebut,” papar nya.
Pelurusan Ciliwung memberikan manfaat berupa aliran air sungai yang lancar. Memang akan selalu ada sedimentasi yang tertinggal, namun menurut Trisno setidaknya tidak menciptakan pendangkalan sekaligus penyempitan yang cepat akibat kelokan sungai.
Untuk kelokan sungai yang sudah tidak dilewati air dapat ditinggikan atau diratakan untuk dimanfaatkan sebagai lahan relokasi. Sehingga, apabila pemerintah hendak mengambil solusi tambahan seperti penertiban warga bantaran sungai dapat memanfaatkan tanah tersebut.
Menurutnya, pengalaman panjang sebagai konsultan Sistem Informasi Manajemen telah banyak membantu mempelajari masalah-masalah yang pelik, unik, dan solusinya. Singapura contohnya, rumah tapak sudah digantikan apartemen/rumah susun. Di sana pintu sengaja diciptakan dengan dua lapis, lapis pertama dibuat seperti teralis sehingga terbuka dan memudahkan komunikasi dan interaksi penghuninya. “Ini sangat cocok untuk rumah susun di Indonesia. Jika harus relokasasi saya yakin banyak yang mengharapkan agar mereka tetap ingin berkumpul seperti posisi rumah mereka semula,” jelasnya.
ALIA